Etnobotani Lalapan sebagai Sajian
Pelengkap Makanan Sunda: Mentah atau Dimasak?
Budaya erat kaitannya
dengan kesehatan. Dari budaya, yang kemudian menjadi tradisi turun temurun. Ada
beberapa kebiasaan orang sunda yang telah menjadi budaya, tradisi, dan karakter,
salah satunya yaitu mengkonsumsi lalapan. Hal ini juga diperkuat oleh letak
geografis dan keadaan alam tanah sunda itu sendiri. Secara geografis, tanah sunda
yang terletak di wilayah Jawa Barat dikelilingi oleh gunung dan pegunungan yang
menjadikan tanah Sunda begitu subur. Berbagai jenis tanaman dapat tumbuh dengan
baik tanpa banyak masalah. Keadaan alam yang khas di daerah ini, akhirnya
membuat masyarakatnya berupaya membuat makanan yang mampu meningkatkan rasa
sesuai keadaan alamnya. Cabai, yang relatif mudah ditemukan dan mudah tumbuh di
tanah Sunda menjadi pilihan untuk diolah menjadi sambal. Namun, mengonsumsi
sambal saja dengan nasi rasanya kurang lezat. Akhirnya, orang Sunda memilih
lalapan sebagai sajian pelengkap dan sekaligus sebagai makanan favorit
masyarakat Sunda.
Fadly Rahman, seorang
peneliti sejarah Fakultas Ilmu Sejarah dari Universitas Padjajaran mengatakan, bahwa
budaya makan lalapan orang Sunda ini ternyata telah ada sejak abad ke-10 M dan
disebut dalam prasasti Taji 901 M, yang didalamnya disebutkan sebuah nama
sajian atau makanan bernama kulupan Sunda yang artinya lalap (Hendariningrum,
2018). Yang termasuk lalapan sendiri dapat berupa akar,
batang, daun, buah, bunga, biji, atau bagian lain yang dikonsumsi mentah,
direbus, atau dikukus tanpa penambahan bumbu atau penambah rasa (Cahyanto
et al., 2018). Sayuran yang sering digunakan
sebagai lalapan biasanya timun, kemangi, kacang panjang, kubis atau kol, tomat,
dan lain sebagainya.
Dilihat dari bahan
dasarnya sebagai sayuran, lalapan ini memiliki efek yang baik bagi kesehatan,
karena mengandung zat gizi relatif tinggi yang sangat dibutuhkan tubuh, yaitu
vitamin dan mineral (Suryani,
2012). Vitamin dalam sayuran dapat berperan dalam
pertumbuhan sel, pembentukan sel darah merah, pencegahan anemia, mencegah
pendarahan, serta kandungan karetinoid dan provitamin lainnya berperan dalam
menjaga sel dan jaringan tubuh (Septiani,
Hernawati and Putra, 2020). Sedangkan mineral merupakan
mikronutrien yang berfungsi untuk proses pertumbuhan, pengaturan, dan perbaikan
fungsi tubuh (Labellapansa
and Boyz, 2016). Selain itu, lalapan juga memiliki
kandungan serat yang tinggi (Suryani,
2012).
Orang Sunda umumnya
terbiasa mengonsumsi sayuran sebagai lalapan mentah untuk campuran makanan
lain. Kebiasaan makan sayuran mentah ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat
sehingga terlihat sulit untuk diubah. Namun, apakah sayuran sebagai lalapan
yang dimakan mentah aman dikonsumsi? Sayur lalapan memeliki kelebihan gizi
karena dikonsumsi dalam keadaan mentah sehingga zat-zat gizi yang terkandung
didalamnya tidak mengalami denaturasi atau perubahan. Tetapi manfaat dari sayur
lalapan tersebut tidak akan berguna apabila sayur lalapan tersebut mengandung
bakteri (Duhupo,
Joseph and Sumampouw, 2019). Semakin modern semakin banyak terjadi polusi yang
memungkinkan makanan-makanan seperti lalapan tersebut tidak bebas dari berbagai
zat lain yang membahayakan. Ada bahaya dari pestisida atau residunya yang
digunakan petani ketika membudidayakan tanaman lalapan. Dalam hal ini, bersama sayuran
biasanya ikut bakteri, atau parasit patogen yang cepat atau lambat akan
menimbulkan penyakit (Lobo
et al., 2016).
Sayuran mentah,
khususnya lalapan ini, diperkirakan dapat berperan menjadi salah satu sumber
infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) pada manusia. Cacing-cacing yang
dapat berperan dalam Soil Transmitted Helminths ini seperti Ascaris
lumbricoides, Ancylostoma, dan Trichuris trichiura (Fane,
Majawati and Liman, 2021). Adanya kontaminasi telur cacing
pada sayur didapatkan dari lahan penanaman sayur itu sendiri maupun tempat
berjualan (Adrianto,
2017). Dan infeksi Soil Transmitted Helminths dapat
menjangkit manusia melalui lalapan ini dikarenakan sayuran tidak melalui proses
masak-memasak yang bertujuan untuk membunuh berbagai mikroorganisme pada
makanan karena adanya pengaruh suhu tinggi (Onesiforus,
Priaryuningtyas and Galuh, 2021).
Di Indonesia, nematoda
usus yang bersumber dari penularan air dan lumpur yang digunakan dalam budidaya
sayuran masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup tinggi. WHO
menyatakan bahwa, selain penyakit malaria, lebih dari separuh masalah kesehatan
negara berkembang adalah penyakit ini (Anggraini
and Tianingsih, 2017). Dapat dikatakan, lebih dari 1,5
milyar penduduk atau 24% dari populasi dunia terinfeksi STH (Wijaya,
Tuda and Sorisi, 2018). Kebiasaan defekasi ditanah dan
pemakaian tinja di pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu) penting dalam
penyebaran infeksi ini. Adanya telur-telur atau larva, dalam beberapa kasus
ditemukan dari hasil pemeriksaan kasus infeksi (Suryani,
2012). Secara umum, kerugian dan dampak akibat infestasi
cacing ini tidak menyebabkan manusia meninggal secara tiba-tiba, akan tetapi dapat
mempengaruhi absorbsi, metabolisme, pencernaan, dan pada ibu hamil dapat terjadi
risiko keguguran, kelahiran premature, dan janin lahir meninggal (Sary,
Haslinda and Ernalia, 2014).
Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa mengkonsumsi lalapan masak lebih menguntungkan. Hilangnya
vitamin dan mineral setelah lalapan dimasak juga tidak terlewat besar,
tergantung banyak sedikitnya air yang digunakan untuk merebusnya. Makin banyak
air yang digunakan, makin banyak vitamin yang hilang terlarut dalam air (Fadilah,
Azizah and Tursina, 2011). Untuk itu, saat merebusnya, pastikan
memasaknya dengan cara yang tepat seperti suhu tidak terlalu tinggi, tidak
terlalu lama dalam merebus makanan, serta jangan terlalu banyak air (Christiana,
Nurcahyo and Muhaimin, 2021). Hal ini bertujuan agar vitamin
dan nutrisinya tidak terbuang. Setelah direbus,
angkat dan tiriskan lalapan, kemudian masukan kedalam air dingin. Sayuran yang
dimasak dengan baik, akan mematikan semua zat kontaminannya.
Selain itu, sebelum
dimasak sayuran tersebut harus dicuci dengan air mengalir terlebih dahulu (Fane,
Majawati and Liman, 2021). Pengolahan makanan ini sangat
besar peranannya dalam mengkontaminasi makanan. Menurut Sapers 2001 (Mu’tamirah
and Amryl, 2017), kontaminasi mikroba pada produk
pertanian termasuk sayuran yang akan dijadikan lalapan dapat terjadi pada
beberapa titik diantaranya adalah pada saat pengolaahan. Oleh karena itu, faktor
yang berpengaruh terhadap kebersihan pengolahan dan pemanfaatan sayuran yang
dikonsumsi adalah cara mencuci dan teknik mencuci sayuran. Penggunaan air
mengalir lebih dianjurkan daripada menggunakan air yang diam (menggenang),
seperti air dalam wadah/ bak air yang digunakan untuk mencuci sayuran secara
berulang (Lobo
et al., 2016). Tehnik pencucian sayuran yang
seharusnya yaitu dicuci pada air kran yang mengalir, untuk kol dan daun selada dapat
dilepaskan satu persatu atau helai per helai, kemudian dicelupkan sebentar
kedalam air panas atau dibilas dengan menggunakan air matang. Sehingga bakteri
yang mungkin melekat dapat terbuang bersama aliran air tersebut (Depkes RI,
2010)(Purba,
Chahaya and Marsaulina, 2013). Penggunaan sabun pencuci sayur
juga menunjukkan efektivitas dapat mengurangi kontaminasi telur STH. Dari penelitian
oleh Umar (2008) menemukan bahwa kebiasaan mencuci tangan menggunakan air dan
sabun sebelum makan termasuk makan lalapan juga mempunyai peranan penting
dengan pencegahan infeksi kecacingan, dengan mencuci tangan menggunakan air dan
sabun lebih efektif dalam menghilangkan kotoran dan telur cacing Soil
Transmitted Helminth (STH) yang menempel pada kulit serta kuku pada kedua
tangan (Onesiforus,
Priaryuningtyas and Galuh, 2021).
Jadi, secara rasional,
memasak lalapan terlebih dahulu lebih dianjurkan. Namun, dengan pemasakan yang
tepat. Sehingga, kerusakan gizi pada lalapan bisa dibatasi sesedikit mungkin
dan lebih aman terkontaminasi dari jasad renik. Namun, alasan rasional ini
kerap terkalahkan oleh kebiasaan makan mereka yang sejak kecil mengenal lalapan
mentah. Kepuasan mereka makan lalapan mentah akan sulit tergantikan jika harus
menyantapnya masak.
Daftar Pustaka
Adrianto, H. (2017) ‘Konntaminasi Telur Cacing pada Sayur dan
Upaya Pencegahannya’, Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber
Binatang Banjarnergara, 13(2), pp. 105–114.
Anggraini, D. A. and
Tianingsih, A. (2017) ‘Telur Nematoda Pada Kubis (Brassica oleracea) Mentah dan
Matang di Pasar Baru Gresik Tahun 2017’, Jurnal of Ners Community,
08(02), pp. 195–200.
Cahyanto, T. et
al. (2018) ‘Inventory of Plants Used as Lalapan in Subang , West Java’, in AIP
Conference Proceedings, pp. 1–10.
Christiana, M.,
Nurcahyo, A. and Muhaimin, A. (2021) ‘Socialization of Healthy Cooking to
Support Business Development Prima Karya Katering in Brumbungan Village
Districts Central Semarang’, Jurnal Tematik, 3(1), pp. 42–47.
Duhupo, D., Joseph,
W. B. S. and Sumampouw, O. J. (2019) ‘Gambaran Keberadaan Bakteri Escherchia
coli pada Sayur Kemangi Pelengkap Makanan Lalapan di Rumah Makan di Kelurahan
Tuminting Kota Manado’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(7), pp. 1–6.
Fadilah, N., Azizah,
N. and Tursina, R. (2011) ‘Cara Memasak Brokoli dengan Diet Terapi Penyakit
Kanker’, Artikel Mikrobiologi.
Fane, A. T.,
Majawati, E. S. and Liman, H. H. (2021) ‘Identification of Soil Transmitted
Helminth Contamination on The Raw Vegetables in Warung Pecel Lele in Kebon
Jeruk District , West Jakarta’, Indonesian Journal of Biotechnology and
Biodiversity, 5(1), pp. 9–16.
Hendariningrum, R.
(2018) ‘Budaya dan Komunikasi Kesehatan (Studi Pandangan Kesehatan pada
Masyarakat Sunda dalam Tradisi Makan Lalapan)’, Jurnal lugas, 2(1), pp.
13–19.
Labellapansa, A. and
Boyz, A. T. (2016) ‘Sistem Pakar Diagnosa Dini Defisiensi Vitamin dan Mineral’,
Jurnal Informatika, 10(1), pp. 1156–1163.
Lobo, L. T. et
al. (2016) ‘Kontaminasi Telur Cacing Soil-transmitted Helmints ( STH ) pada
Sayuran Kemangi Pedagang Ikan Bakar di Kota Palu Sulawesi Tengah’, Media
Litbangkes, 26(2), pp. 65–70.
Mu’tamirah and Amryl
(2017) ‘Perbandingan Jumlah Kuman Pada Lalapan Yang Dijual di Rumah Sakit di
Rumah Makan dan Pedagang Kaki Lima di Jalan A. P. Pettarani Kota Makassar’, Jurnal
Sulolipu: Media Komunikasi Sivitas Akademika dan Masyarakat, 17(1), pp.
60–65.
Onesiforus, B. Y.,
Priaryuningtyas, R. A. and Galuh, R. (2021) ‘Prevalensi dan Hubungan Higiene
Sanitasi Terhadap Kontaminasi Telur STH pada Sayur Kemangi ( Ocimum basilicum L
.) yang dijual sebagai Hidangan Lalapan di Kecamatan Semarang Barat’, Jurnal
Analis Medika Biosains (JAMBS), 8(2), pp. 82–91.
Purba, S. F.,
Chahaya, I. and Marsaulina, I. (2013) ‘Pemeriksaan Escherichia coli dan Larva
Cacing pada Sayuran Lalapan Kemangi (Ocimum Basilium), Kol (Brassica oleracea
L. var. capitata. L.), Selada (Lactuca sativa L.), Terong (Solanum melongena)
yang dijual di Pasar Tradisional, Supermarket dan Restoran d’, Lingkungan
dan Kesehatan Kerja, 2(1), pp. 1–7.
Sary, R. M.,
Haslinda, L. and Ernalia, Y. (2014) ‘Hubungan Higien Personal Dengan Infestasi
Soil Transmitted Helminths Pada Ibu Hamil di Kelurahan Sri Meranti Daerah
Pesisir Sungai Siak Pekanbaru’, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Kedokteran,
1(2), pp. 1–11.
Septiani, N., Hernawati,
D. and Putra, R. R. (2020) ‘Biodiversity of potentially “ lalapan ” vegetables
in Kampung Adat Naga, Tasikmalaya, Indonesia’, Biosfer: Jurnal Pendidikan
Biologi, 13(2), pp. 201–215.
Suryani, D. (2012)
‘Hubungan Perilaku Mencuci Dengan Kontaminasi Telur Nematoda Usus pada Sayuran
Kubis (Brassica oleracea) Pedagang Pecel Lele di Kelurahan Warungboto Kota
Yogyakarta’, Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat, 6(2), pp. 162–232.
Wijaya, R. P., Tuda,
J. and Sorisi, A. (2018) ‘Prevalensi Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan
Melalui Tanah Pada Petani di Kelurahan Ranowangko Kecamatan Tondano Timur
Kabupaten Minahasa’, Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik, 6(2), pp.
310–313.
https://www.merdeka.com/jabar/pesan-kebaikan-di-balik-menu-lalapan-khas-sunda-jaga-ketahanan-pangan-lewat-alam.html